Barito SelatanFeature

Anyaman Waktu dari Rantau Kujang: Di Mana Purun Menyimpan Ingatan

Akhmad Madani
×

Anyaman Waktu dari Rantau Kujang: Di Mana Purun Menyimpan Ingatan

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi (Artificial Intelligence)

Cerita CSR, Tradisi dan Kehidupan di Rantau Kujang

Oleh: Akhmad Madani

Di RANTAU KUJANG, Barito Selatan (Barsel), Kalimantan Tengah (Kalteng), suara kresek purun yang dianyam di tepian Sungai Barito menjadi saksi perjalanan panjang masyarakat rawa yang hidup berdampingan dengan alam.

Di sebuah rumah kayu sederhana, beberapa perempuan duduk bersila, tangan mereka menari di atas helai purun kering yang berubah menjadi karya bernilai tinggi.

***

Tradisi yang Tak Pernah Padam

MAHDAN, Ketua Kelompok Pengrajin Purun Jenamas, menatap hasil anyaman dengan mata tenang.

“Purun ini bukan sekadar bahan,” ujarnya. “Ia bagian dari hidup kami, dari cara kami mengenal waktu, kesabaran, dan rezeki.”

Setiap helai purun yang dijemur di bawah matahari membawa cerita tentang ketekunan.

“Kalau tidak sabar, anyaman pasti rusak,” katanya. “Setiap helai purun mengajarkan kita untuk tenang dan tidak terburu-buru.”

***

Jejak dari Sebuah Bantuan Lama

SEKITAR sepuluh tahun lalu, PT Adaro Indonesia dan PT Pamapersada Nusantara (PAMA) hadir di Jenamas dengan program tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).

Bantuan berupa alat tumbuk purun dan pelatihan usaha kecil menjadi awal perubahan bagi kelompok pengrajin.

“Dulu kami cuma bisa bikin tikar,” ujar Mahdan. “Setelah pelatihan, kami belajar membuat tas, dompet, dan kerajinan yang bisa dijual ke luar daerah.”

Hasil karya mereka sempat menghiasi pameran di Buntok dan Palangka Raya, membawa nama Jenamas ke hadapan publik yang lebih luas.

Namun, waktu menguji ketekunan.

“Sekarang alatnya retak, sering macet,” katanya. “Kalau rusak total, kami bisa berhenti produksi.”

***

Ketika Tradisi Butuh Uluran Tangan

SEKRETARIS Kecamatan (Sekcam) Jenamas, Eddy Hariyadi, menilai kerajinan purun bukan sekadar produk ekonomi, tetapi identitas masyarakat rawa yang tumbuh dari air dan waktu.

“Purun ini lebih dari sekadar usaha,” ujarnya. “Ia menyimpan nilai budaya dan filosofi hidup masyarakat Jenamas.”

Ia menyebut akan berkoordinasi dengan dinas terkait dan PT Adaro Indonesia agar para pengrajin tetap bertahan.

“Kalau dikembangkan dengan desain modern dan pemasaran digital, anyaman purun bisa menembus pasar nasional,” katanya.

Eddy juga menyampaikan apresiasi kepada PT Adaro Indonesia atas dukungan yang telah diberikan.

“Mewakili pemerintah kecamatan, kami berterima kasih atas kontribusi melalui program CSR dan pelaksanaan Festival Purun yang setiap tahun membangkitkan semangat masyarakat,” ujarnya.

***

Perempuan dan Waktu yang Dianyam

Di SUDUT ruangan, Mila, seorang pengrajin berusia paruh baya, menganyam purun sambil sesekali menatap ke luar jendela.

“Kalau anyaman miring, berarti kita kurang sabar,” ujarnya. “Makanya harus pelan-pelan, biar rapi. Sama seperti hidup.”

Selama dua puluh tahun ia menekuni pekerjaan itu dan berhasil menyekolahkan anak-anaknya dari hasil anyaman.

Namun kini, ia mulai khawatir karena semakin sedikit anak muda yang tertarik.

“Sekarang anak-anak lebih suka main HP,” katanya. “Padahal dari sinilah kami bisa hidup.”

***

Warisan yang Harus Dijaga

MENJELANG sore, cahaya jingga jatuh di atas tumpukan purun kering yang siap dianyam.

Tangan-tangan perempuan itu terus bergerak, ritmis dan penuh makna, seolah menenun waktu agar tradisi tak lenyap dimakan zaman.

Mahdan memandang hasil kerja kelompoknya dengan mata berbinar.

“Kami memang jauh dari kota,” ujarnya. “Tapi dari sini kami menjaga warisan. Kalau ada sedikit dukungan, purun bisa jadi kebanggaan Barsel.”

***

Napas yang Tak Mau Padam

Di RANTAU KUJANG, tradisi bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan napas yang terus hidup dalam setiap simpul anyaman.

Bagi Mahdan dan para pengrajin, purun adalah simbol ketangguhan dan harapan.

Selama tangan-tangan itu masih menenun, selama rawa masih menumbuhkan purun, kehidupan akan tetap berdenyut di tepi Sungai Barito.

Karena di sana, yang mereka jaga bukan sekadar kerajinan, tetapi jiwa dari sebuah warisan. (am)