Palangkaraya

Tumpang Tindih Lahan Kalteng Capai 1 Juta Hektare Belum Terselesaikan

Akhmad Madani
×

Tumpang Tindih Lahan Kalteng Capai 1 Juta Hektare Belum Terselesaikan

Sebarkan artikel ini
Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustan Saining (foto: MediaSurya/istimewa)

PALANGKA RAYA (MediaSurya) – Polemik tata ruang di Kalimantan Tengah (Kalteng) terus berlarut tanpa penyelesaian meski proses sinkronisasi antara penetapan kawasan hutan oleh pemerintah pusat dan rencana tata ruang daerah telah mandek lebih dari satu dekade.

Menurut Kepala Dinas Kehutanan Kalteng Agustan Saining, perbedaan persepsi antara pusat dan daerah menjadi akar persoalan yang membuat tata ruang tidak kunjung menemukan titik temu.

“Versi daerah, kawasan itu bukan hutan tetapi versi pusat kawasan itu merupakan kawasan hutan dan perbedaan itu harusnya disinkronkan melalui PP 60 tahun 2012 dan PP 104 tahun 2015,” ujarnya.

Ia mengatakan kedua regulasi tersebut tidak berjalan optimal karena pergantian pemerintahan dan perubahan kebijakan di tingkat pusat sehingga proses penataan ruang terhambat hingga kini.

“Kebijakan berubah terus padahal kalau itu konsisten mungkin bisa meminimalisir tumpang tindih yang terjadi sekarang,” katanya.

Agustan menjelaskan sekitar 1 juta hektare lahan di Kalteng masuk kategori keterlanjuran penggunaan kawasan hutan dengan sebagian besar telah berubah menjadi perkebunan sawit sedangkan sektor pertambangan hanya memegang porsi kecil.

“Kebun sawit yang mendominasi dan tambang tidak terlalu banyak karena mereka punya mekanisme pinjam pakai kawasan hutan,” tambahnya.

Ia menambahkan sebaran lahan tumpang tindih tersebut berada di seluruh kabupaten dan kota dengan wilayah Barat dan Tengah memiliki luasan terbesar sementara wilayah Barito juga mengalami hal serupa meski dalam skala lebih kecil.

Satgas Penataan Kawasan Hutan (PKH) saat ini telah melakukan pematokan fisik terhadap sekitar 500 ribu hektare lahan yang terindikasi berada dalam kawasan hutan.

“Ke depan masih akan diverifikasi ulang oleh Kementerian Kehutanan jadi angka itu belum menjadi penetapan final,” ujarnya.

Mandeknya penyelesaian tata ruang membuat pemerintah provinsi dihadapkan pada dilema karena banyak perusahaan perkebunan dan pertambangan beroperasi di lahan yang oleh pusat dikategorikan sebagai kawasan hutan tetapi oleh daerah dianggap sebagai APL.

“Situasi ini tidak fair bagi daerah dan dunia usaha dan kita butuh kejelasan aturan agar sinkronisasi tata ruang benar-benar selesai dan semua pihak punya kepastian hukum,” katanya.

Kondisi tersebut memunculkan ketidakpastian regulasi bagi pelaku usaha di daerah dan menghambat proses pengembangan pembangunan. (am)

Dalam segala situasi, MediaSurya.com berkomitmen memberikan informasi akurat, cepat, dan terpercaya.
• Ikuti kami di Google Berita
• Bergabung di Saluran WhatsApp
• Kirim press release melalui Kirim Berita
• Ikuti MediaSurya di Facebook dan Twitter/X