PALANGKA RAYA (MediaSurya) – Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Agustiar Sabran merespons video parodi wawancara dirinya yang dibuat oleh konten kreator Saif Hola di Palangka Raya, Senin (21/4/2025).
Agustiar menyatakan bahwa dirinya tidak mempermasalahkan video parodi tersebut selama disampaikan dengan etika yang baik dan membangun.
Menurut Agustiar, parodi merupakan bagian dari kebebasan berekspresi di negara demokrasi seperti Indonesia yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat.
Ia mengungkapkan bahwa kritik dalam bentuk parodi bukan hal baru dan dapat menjadi motivasi untuk memperbaiki diri ke depan.
Video parodi berdurasi 2 menit 42 detik itu diketahui memuat gaya satire terhadap cara Gubernur menjawab pertanyaan wartawan usai pelantikannya di Istana Negara Jakarta beberapa waktu lalu.
Konten tersebut sempat viral di media sosial dan menimbulkan polemik sebelum akhirnya dihapus oleh pembuatnya atas inisiatif pribadi.
Agustiar menekankan bahwa dirinya tidak antikritik, namun mengingatkan pentingnya menyampaikan kritik dengan sopan dan bertanggung jawab.
“Kalau kritik membangun saya senang, tapi kalau hanya mengolok-olok tanpa dasar itu tidak pas,” katanya di sela jalan santai di Bundaran Besar Palangka Raya.
Ia menambahkan bahwa masyarakat Kalteng memiliki nilai budaya ‘belom bahadat’ yang menjunjung tinggi adat istiadat dan etika dalam berperilaku.
Menurutnya, setiap bentuk komunikasi publik di Kalteng harus menghormati nilai lokal tersebut agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Gubernur Agustiar juga menyampaikan harapannya agar para konten kreator di Kalteng dapat menyajikan karya yang mendidik dan menyejukkan.
“Konten apapun boleh, tapi kalau mau mengkritik ya kasih juga solusinya,” pungkas Agustiar menegaskan sikapnya.
Saif Hola, konten kreator asal Palangka Raya, sebelumnya mengunggah video parodi wawancara gubernur melalui akun Instagram miliknya, @saif_hola.
Video itu menjadi perbincangan setelah dipandang oleh sebagian kalangan sebagai penghinaan terhadap kepala daerah dan profesi wartawan.
Saif Hola kemudian menyampaikan permohonan maaf kepada organisasi masyarakat Lembaga Swadaya Rakyat (LSR) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Tengah.
Ia juga dipanggil oleh Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng untuk memberikan klarifikasi atas konten yang dinilai sensitif tersebut.
Saif menyatakan bahwa dirinya tidak menerima intimidasi dari pihak manapun terkait dengan permintaan maaf yang disampaikannya.
“Saya tidak merasakan adanya intimidasi, mungkin orang luar saja yang mengira begitu,” ujarnya saat dikonfirmasi Kompas.com melalui pesan Instagram.
Ia mengaku menyadari bahwa konten yang dibuatnya menimbulkan perbedaan pendapat dan kontroversi di kalangan masyarakat.
Menurutnya, benar atau salahnya sebuah karya tergantung pada perspektif penerima, bukan semata dari niat pembuat.
“Saya hanya memasak, kalau masakan itu enak atau tidak tergantung selera penikmat,” analogi Saif tentang pekerjaannya sebagai konten kreator.
Terkait permintaan maafnya, Saif menjelaskan bahwa ia bersikap kooperatif sejak awal agar tidak memperkeruh situasi.
“Mungkin bisa dibilang paksaan kalau saya sempat menolak, tapi saya dari awal memilih untuk kooperatif,” jelasnya.
Saif mengaku tidak ingin berkomentar banyak soal harapan pribadinya, namun ia menilai bahwa slogan ‘tidak antikritik’ belum sepenuhnya terasa.
“Setidaknya sampai saat ini, saya belum benar-benar merasakan itu,” tandas Saif dalam pernyataan akhirnya.
Polemik ini menjadi perhatian karena menyangkut batas antara kebebasan berekspresi dengan etika dalam menyampaikan kritik di ruang publik.
Sejumlah warganet juga memberikan respons beragam, dari dukungan terhadap kebebasan kreator hingga seruan menjaga etika berkomunikasi.
Pakar komunikasi publik menilai bahwa kasus ini bisa menjadi pelajaran penting dalam penggunaan platform media sosial secara bijak.
Peristiwa ini turut membuka diskusi mengenai bagaimana pemimpin daerah menyikapi kritik dan peran masyarakat dalam membentuk ruang diskusi yang sehat.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebelumnya juga mendorong edukasi literasi digital agar masyarakat memahami batas kebebasan berekspresi.
Secara umum, peristiwa ini memperlihatkan pentingnya keseimbangan antara menyampaikan pendapat dan menghormati norma sosial.
Masyarakat diharapkan dapat mengambil pelajaran dari kasus ini agar lebih bijak dalam membuat dan menyikapi konten di era digital. (red)