MediaSurya – Tren masyarakat memborong emas meski harga terus naik dinilai mencerminkan kekhawatiran publik terhadap arah kebijakan ekonomi Indonesia.
Dosen dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII), Listya Endang Artiani, menyebut tren ini sebagai sinyal negatif dari ketidakpercayaan terhadap kebijakan fiskal dan moneter pemerintah.
Menurutnya, fenomena ini tidak dapat dipandang sebagai perilaku ekonomi biasa karena mencerminkan ekspektasi yang mengkhawatirkan terhadap stabilitas ekonomi nasional.
“Fenomena borong emas ini juga mencerminkan sebuah ketidakpercayaan yang berkembang terhadap kebijakan moneter dan fiskal yang ada,” ujar Listya dalam keterangannya kepada Tempo, Senin, 21 April 2025.
Ia menjelaskan bahwa masyarakat membeli emas sebagai langkah perlindungan nilai atau store of value di tengah gejolak ekonomi global.
Tren ini terjadi ketika masyarakat berupaya mengalihkan aset mereka ke logam mulia yang dianggap sebagai safe haven asset atau aset penyelamat.
Listya menilai emas menjadi pilihan karena korelasinya yang rendah, bahkan negatif, terhadap aset-aset lain seperti saham dan obligasi.
“Menjadikannya pelindung nilai yang efektif dalam kondisi krisis atau ketidakpastian ekonomi,” jelas dosen di Jurusan Ekonomi, Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII ini.
Menurutnya, jika tren ini terus berlangsung, maka dapat menimbulkan dampak jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal tersebut berpotensi menyebabkan opportunity cost karena dana yang seharusnya dialirkan ke sektor riil justru mengendap dalam bentuk aset non-produktif seperti emas.
Data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan adanya perlambatan pertumbuhan simpanan deposito pada triwulan pertama 2025 dibandingkan periode sebelumnya.
Hal ini menandakan pergeseran preferensi masyarakat terhadap instrumen investasi alternatif di tengah ketidakpastian ekonomi global.
“Dalam konteks teori crowding-out effect, perpindahan besar-besaran ini dapat mengganggu fungsi intermediasi lembaga keuangan,” terang Listya.
Listya menambahkan bahwa kondisi ini terjadi karena dorongan sentimen negatif terhadap arah kebijakan moneter pemerintah.
Pemerintah bersama bank sentral, lanjutnya, harus segera merespons fenomena ini dengan kebijakan strategis untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Ia merekomendasikan agar Bank Indonesia meningkatkan efektivitas komunikasi kebijakan melalui forward guidance yang lebih jelas dan transparan.
“Sehingga mengurangi ketergantungan pada emas sebagai satu-satunya alternatif penyimpanan nilai,” katanya.
Selain itu, Listya mendorong diversifikasi instrumen investasi yang kompetitif dan inklusif seperti Sukuk Ritel, Obligasi Negara Ritel (ORI), dan green bonds.
Menurutnya, diversifikasi ini penting untuk mendorong pembiayaan proyek berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
“Edukasi tentang investasi yang cerdas dan produktif juga harus menjadi prioritas bagi pemerintah dan lembaga keuangan,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa literasi keuangan masyarakat yang rendah menjadi penyebab utama keputusan investasi yang tidak efisien dan berbasis tren sesaat.
Listya juga menekankan pentingnya regulasi terhadap perdagangan emas, terutama dalam bentuk fisik, untuk menjaga transparansi sistem keuangan nasional.
Pencatatan kepemilikan emas dalam sistem keuangan formal dinilai penting agar pemerintah dapat melakukan perencanaan fiskal yang akurat dan menyeluruh.
“Pemerintah juga harus memperkuat ekosistem pasar modal agar masyarakat memiliki akses terhadap produk keuangan yang aman dan menguntungkan,” paparnya.
Menurutnya, penguatan pasar modal akan membuka lebih banyak pilihan investasi bagi masyarakat sekaligus menurunkan ketergantungan pada emas.
Ia menyatakan bahwa meskipun emas berfungsi sebagai pelindung nilai, masyarakat perlu menyadari bahwa ada instrumen investasi produktif lainnya yang lebih bermanfaat bagi perekonomian.
“Untuk itu, kebijakan yang berpihak pada literasi keuangan, transparansi pasar, dan diversifikasi investasi menjadi kunci keberlanjutan,” pungkas Listya.
Fenomena ini menuntut kebijakan proaktif yang mendorong arah investasi masyarakat ke sektor yang lebih produktif dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. (am)