DENPASAR (MediaSurya.com) – Kasus pembunuhan terhadap Remi Yuliana Putri (36) oleh pacarnya, GW (28), di Bali menggemparkan publik. Kejadian ini menjadi peringatan penting tentang betapa berbahayanya hubungan toksik yang berujung pada kekerasan.
Menurut pengakuan pelaku kepada pihak kepolisian, ia merasa sakit hati karena korban menyebutnya “mokondo”. Remi dan GW diketahui bekerja sebagai driver taksi online, namun kendaraan yang digunakan oleh pelaku ternyata milik korban. Sebelum insiden tragis itu terjadi, keduanya terlibat cekcok.
Peristiwa tersebut menjadi pembelajaran bagi masyarakat, terutama perempuan yang berdaya, untuk lebih cerdas dalam menjalani hubungan. “Agar tidak menjadi korban, sebagai perempuan yang berdaya, tentunya ada dua hal yang harus dipegang: mampu berpikir cerdas dan mandiri,” ujar Ni Ketut Jeni Adhi, S.Psi, M.Psi, Psikolog, owner Konsultan Psikologi Tema Insani Tabanan, Minggu (11/5/2025).
Jeni menegaskan, jika dalam sebuah hubungan terdapat konflik yang tak bisa diselesaikan dan tidak ada lagi titik terang, serta jika kekerasan sudah terjadi, sebaiknya hubungan tersebut segera diakhiri. “Jika sudah disakiti, dimanfaatkan, tanpa ada kerjasama yang baik dalam hubungan, perempuan harus berani mengambil sikap,” tambahnya.
Selain itu, Jeni juga mengingatkan pentingnya perempuan untuk berpikir dengan nalar, tidak hanya mengandalkan perasaan atau rasa kasihan dalam menjalin hubungan. Dengan pendidikan dan keterampilan yang dimiliki, perempuan harus mampu bertahan hidup dan berdaya.
Selain pembunuhan yang dilakukan oleh pacar, sejumlah kasus kekerasan juga terjadi di Bali, termasuk yang melibatkan pihak TNI. Jeni juga menekankan pentingnya kontrol diri dalam menghadapi emosi yang tidak terkendali. “Kontrol emosi menjadi sesuatu yang mahal harganya untuk saat ini,” ujarnya.
Dia menyebutkan bahwa ketidakstabilan emosi sering kali menjadi pemicu kekerasan dan kriminalitas. Berbagai faktor, seperti kondisi ekonomi, persaingan sosial, dan tekanan moral, dapat menyebabkan perasaan negatif yang akhirnya memicu kekerasan.
“Hal-hal seperti ini kan perlu dilatih dan dibiasakan. Dilatih dan dibiasakan untuk belajar mengelola emosi, bukan berarti tidak boleh marah. Namun, bagaimana mengelola marah agar tidak melukai,” tegasnya.
Berkaca dari kejadian ini, penting bagi setiap individu untuk lebih bijak dalam memilih pasangan dan memahami batasan dalam hubungan.Jangan biarkan hubungan toksik merusak hidup, namun belajarlah untuk berani mengakhiri hubungan yang merugikan. (am)