Mediasurya – Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengejutkan dunia ketika mengumumkan darurat militer pada Selasa (3/12/2024) malam.
Pengumuman ini menjadi langkah pertama sejak 1979 dan mengundang kecaman luas.
Dalam pidato televisi nasionalnya, Yoon menyebut ancaman “kekuatan anti-negara” sebagai alasan utama, namun banyak pihak menilai keputusan tersebut dipicu oleh tekanan politik dalam negeri.
Keputusan Yoon memicu kemarahan publik dan oposisi.
Ribuan demonstran mendatangi gedung Majelis Nasional, menyerukan pencabutan darurat militer. Politisi oposisi, termasuk Lee Jae-myung dari Partai Demokrat, memimpin perlawanan, menganggap tindakan Yoon inkonstitusional.
Beberapa anggota parlemen bahkan harus memanjat pagar demi memasuki ruang pemungutan suara untuk mencabut keputusan tersebut.
Hanya enam jam setelah deklarasi, parlemen yang didominasi oposisi menolak darurat militer dengan 190 suara dari total 300 anggota.
Yoon akhirnya mencabut perintah tersebut, namun ia kini menghadapi ancaman serius, termasuk kemungkinan pemakzulan dan keretakan di dalam partainya sendiri, Partai Kekuatan Rakyat.
Langkah Yoon dipandang sebagai upaya putus asa untuk mempertahankan kekuasaannya.
Sejak kekalahan telak partainya dalam pemilu legislatif April lalu, ia terjebak dalam berbagai skandal, termasuk dugaan korupsi yang melibatkan Ibu Negara.
Tingkat persetujuannya merosot hingga 17 persen, terendah sepanjang sejarah pemerintahannya.
Langkah gegabah Yoon dikecam sebagai ancaman terhadap demokrasi Korea Selatan.
Proses pemakzulan, jika dimulai, membutuhkan dua pertiga suara parlemen untuk disahkan dan akan menjadi salah satu krisis politik terbesar negara itu sejak pemakzulan Presiden Park Geun-hye pada 2016.
Para pengamat menyebut tindakan Yoon berisiko merusak reputasi internasional Korea Selatan sebagai negara demokrasi modern.
Para ahli menilai tindakan Yoon sebagai kesalahan besar yang dapat menciptakan preseden buruk.
“Ini adalah langkah politik yang sembrono, menunjukkan ketidakmampuan Yoon menghadapi tantangan politik tanpa merusak tatanan demokrasi,” ujar Leif-Eric Easley dari Universitas Ewha.
Korea Selatan kini dihadapkan pada ujian terbesar dalam sejarah demokrasi modernnya.