Mediasurya, Jakarta – Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan deflasi sebesar 0,12 persen pada September 2024, mengindikasikan penurunan harga yang disebabkan oleh berkurangnya daya beli masyarakat.
Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan bahwa deflasi ini dipicu oleh merosotnya daya beli, terutama di kalangan kelas menengah.
Menurutnya, studi lebih dalam diperlukan untuk memahami dampak penurunan daya beli terhadap indeks harga konsumen.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menilai bahwa deflasi tidak selalu menandakan melemahnya perekonomian.
Deputi Gubernur BI, Juda Agung, menyebut inflasi tahunan justru tercatat menurun menjadi 1,84 persen pada September 2024, dari 2,12 persen bulan sebelumnya.
Dampak deflasi yang berlangsung terus-menerus dinilai dapat berpotensi menyebabkan resesi ekonomi. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengungkapkan bahwa rendahnya pendapatan masyarakat untuk berbelanja berkontribusi pada kondisi ini.
Ia juga mengingatkan bahwa deflasi bisa berdampak buruk bagi sektor usaha, terutama industri makanan, minuman, dan properti.
Ahli ekonomi dari Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi, berpendapat bahwa deflasi yang terjadi bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan secara berlebihan.
Ia menilai bahwa penurunan harga setelah inflasi berkepanjangan selama dua tahun terakhir adalah hal yang wajar.
Dalam situasi deflasi ini, kedua ekonom menyarankan agar masyarakat tetap menabung sembari berbelanja sesuai kebutuhan.
Acuviarta menyarankan agar masyarakat memiliki tabungan untuk menghadapi ketidakpastian di masa depan, sedangkan Bhima menyarankan untuk fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok dan berinvestasi dalam aset aman seperti emas dan deposito.