Krisis ekonomi global kini kembali menghantui banyak negara, termasuk Indonesia. Harga pangan melonjak, rantai pasok terganggu, dan ancaman resesi menghantui sejumlah sektor industri besar. Namun, di tengah kekhawatiran itu, muncul satu pertanyaan mendasar: seberapa kuat daerah di Indonesia mampu bertahan secara ekonomi ketika badai global datang?
Perekonomian nasional sebenarnya sudah beberapa kali melewati situasi berat. Krisis moneter 1998 mengguncang perbankan dan menumbangkan banyak usaha. Dua dekade kemudian, pandemi Covid-19 membuat ekonomi nyaris berhenti total. Namun, dari berbagai krisis yang pernah terjadi, satu hal menjadi pelajaran penting: daerah dengan basis ekonomi lokal yang kuat justru lebih tangguh menghadapi guncangan dibanding daerah yang terlalu bergantung pada pasar global.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama pandemi tahun 2020, ekonomi nasional terkontraksi hingga -2,07 persen. Tapi jika ditelisik lebih dalam, tidak semua daerah mengalami nasib yang sama. Beberapa wilayah di Jawa Tengah seperti Wonosobo, Kulon Progo, dan Lombok Timur di Nusa Tenggara Barat hanya mengalami penurunan tipis, bahkan sebagian masih bisa tumbuh positif. Kuncinya ada pada struktur ekonomi yang mereka miliki — mayoritas warga menggantungkan hidup pada sektor pertanian, perdagangan lokal, serta usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Mereka yang menggantungkan hidup dari produksi lokal ternyata lebih mampu bertahan. Petani tetap bisa menjual hasil panen di pasar desa, pengrajin lokal tetap berproduksi untuk kebutuhan sekitar, dan pedagang kecil tetap berputar di pasar tradisional. Aktivitas ekonomi sederhana ini terbukti menjaga daya beli masyarakat di tengah krisis, ketika industri besar justru lesu karena tergantung pada impor bahan baku dan ekspor yang menurun.
Fenomena ini menggambarkan bahwa ekonomi daerah bukan sekadar pelengkap ekonomi nasional, tetapi bisa menjadi penyangga utama saat sistem global terguncang. Namun, sayangnya, pembangunan ekonomi di tingkat daerah selama ini masih sangat berorientasi pada proyek besar dan investasi luar. Banyak pemerintah daerah mengejar angka pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) tinggi dengan mengundang investor, tapi lupa membangun kemandirian ekonomi rakyat.
Padahal, ketahanan ekonomi sejati lahir dari masyarakat yang produktif di lingkungannya sendiri. Daerah yang terlalu menggantungkan diri pada modal besar dari luar justru paling rapuh saat krisis datang. Begitu investasi berhenti, ekonomi langsung stagnan. Di sinilah peran pemerintah daerah menjadi penting — bukan hanya sebagai fasilitator investasi, tapi sebagai penggerak ekonomi lokal yang berpihak pada warganya.
Contoh menarik bisa dilihat di Kabupaten Buleleng, Bali Utara. Saat pandemi menghantam sektor pariwisata di selatan Bali, banyak daerah bergantung pada wisatawan luar negeri mengalami kontraksi ekonomi tajam. Namun, Buleleng relatif lebih bertahan karena ekonominya lebih beragam. Masyarakatnya tidak hanya hidup dari pariwisata, tetapi juga dari pertanian, perikanan, dan perdagangan lokal. Saat wisatawan tak datang, kehidupan ekonomi tetap berputar di tingkat lokal.
Fenomena yang sama juga terjadi di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketika sebagian besar wilayah Indonesia sibuk membangun kawasan industri, masyarakat di NTT justru bertahan dengan sistem ekonomi komunitas. Di Kabupaten Ngada, misalnya, banyak kelompok tani tetap menjaga lumbung pangan tradisional. Mereka tidak tergantung pada pasokan dari luar, bahkan bisa menopang kebutuhan sekitar di tengah krisis harga beras nasional. Inilah wujud nyata dari kemandirian ekonomi yang dibangun dari bawah, bukan dari instruksi pusat.
Kebijakan pembangunan ekonomi daerah yang terlalu berorientasi pada angka pertumbuhan sering kali melupakan aspek keberlanjutan dan pemerataan. Banyak proyek industri besar berdiri megah di daerah, tetapi masyarakat lokal tidak ikut menikmati hasilnya. Mereka hanya menjadi penonton di tanah sendiri, sementara keuntungan mengalir ke luar daerah. Ironisnya, ketika krisis datang, masyarakat inilah yang paling dulu merasakan dampak: kehilangan pekerjaan, harga kebutuhan naik, dan daya beli merosot.
Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi berbasis investasi besar tanpa memperkuat ekonomi rakyat hanya menciptakan ilusi kemakmuran. Ketahanan ekonomi tidak diukur dari seberapa banyak gedung atau pabrik dibangun, tetapi seberapa kuat masyarakat bisa bertahan hidup tanpa tergantung pada faktor eksternal.
Dalam konteks saat ini, ketika ketegangan geopolitik dan fluktuasi harga energi masih menghantui, strategi penguatan ekonomi lokal menjadi sangat penting. Pemerintah pusat sebenarnya sudah memiliki sejumlah program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), Dana Desa, dan pelatihan kewirausahaan. Namun, efektivitasnya sering kali belum terasa karena implementasi di lapangan tidak menyentuh kelompok paling bawah. Banyak petani, nelayan, dan pengrajin yang kesulitan mengakses modal karena terkendala persyaratan administratif.
Selain itu, pembangunan infrastruktur yang masif belum sepenuhnya berbanding lurus dengan penguatan ekonomi rakyat. Jalan baru memang dibangun, pasar direnovasi, tapi pelaku usaha kecil sering kali tidak dilibatkan dalam perencanaan. Akibatnya, fasilitas itu tidak menjadi pusat aktivitas ekonomi masyarakat, melainkan hanya simbol pembangunan. Padahal, jika infrastruktur diiringi dengan pemberdayaan ekonomi lokal, dampaknya akan jauh lebih terasa.
Krisis global yang kini tengah membayangi seharusnya menjadi momentum untuk mereformasi cara pandang pembangunan ekonomi daerah. Daerah tidak bisa terus-menerus menjadi penerima kebijakan pusat, tetapi harus mampu membaca potensi wilayahnya sendiri. Di banyak kabupaten, kekayaan sumber daya alam dan sosial budaya bisa diolah menjadi basis ekonomi baru — dari pertanian organik, produk turunan hasil laut, hingga pariwisata berbasis komunitas.
Model ekonomi seperti ini tidak hanya menggerakkan produksi, tetapi juga memperkuat identitas daerah. Ketika masyarakat merasa menjadi bagian dari sistem ekonomi yang mereka bangun, maka daya tahannya terhadap krisis akan meningkat. Hal ini terlihat jelas di beberapa daerah yang sukses membangun ekonomi berbasis komunitas. Produk lokalnya bukan hanya laku di pasar dalam negeri, tapi juga menembus pasar ekspor tanpa harus bergantung pada konglomerasi besar.
Namun, tantangan terbesar tetap pada aspek kebijakan. Selama paradigma pembangunan masih terpusat pada pertumbuhan angka dan bukan ketahanan sosial-ekonomi, maka ketimpangan akan terus melebar. Pemerintah daerah harus berani mengubah cara pandang ini. Investasi memang penting, tetapi lebih penting lagi memastikan masyarakat di bawah ikut bergerak dalam arus ekonomi yang sehat.
Ketahanan ekonomi daerah bukan sekadar kemampuan bertahan dari krisis, tetapi juga kemampuan bangkit dengan sumber daya sendiri. Ketika sektor pertanian, UMKM, dan perdagangan lokal diperkuat, maka guncangan global tidak akan terlalu mengguncang. Daerah bisa menjadi benteng pertama yang menahan efek domino krisis ekonomi dunia.
Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun kekuatan ekonomi dari bawah. Setiap daerah memiliki potensi berbeda: dari hasil bumi, laut, hingga kerajinan tangan. Potensi itu hanya butuh dukungan kebijakan yang berpihak, infrastruktur yang relevan, dan sistem distribusi yang efisien. Di saat dunia semakin tak menentu, inilah saatnya Indonesia menegaskan kembali fondasi ekonomi lokalnya.
Sebab, krisis global mungkin datang berkali-kali. Tapi selama rakyat di daerah bisa hidup dari tanahnya sendiri, berdagang di pasar lokal, dan menggerakkan ekonomi komunitas, bangsa ini tidak akan mudah tumbang. Ketahanan sejati tidak dibangun dari menara investasi tinggi, melainkan dari kekuatan akar ekonomi yang tumbuh di tanah sendiri.