PALANGKA RAYA (MediaSurya) – Konten kreator asal Palangka Raya, Saif Hola, menyampaikan permohonan maaf usai video parodinya terhadap Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), Agustiar Sabran viral di media sosial, Senin (21/4) malam.
Video berdurasi 2 menit 42 detik itu menampilkan gaya wawancara satir yang menyinggung cara bicara Gubernur Kalteng dalam momen pelantikan di Istana Negara Jakarta.
Saif menjelaskan bahwa video tersebut dibuat dalam format komedi untuk keperluan konten di akun Instagram pribadinya @saif_hola.
“Tujuan saya hanya menghibur, tidak ada niat menyinggung secara personal,” ujar Saif melalui pesan langsung di Instagram, Senin (21/4/2025) malam.
Ia mengungkapkan bahwa permintaan maaf disampaikan secara terbuka kepada organisasi masyarakat Lembaga Swadaya Rakyat (LSR) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Tengah.
Saif juga menegaskan bahwa dirinya tidak merasa diintimidasi terkait polemik video tersebut di Palangka Raya, Senin (21/4/2025).
Pernyataan tersebut disampaikan Saif melalui pesan langsung di Instagram, sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
“Saya tidak merasakan adanya intimidasi, tapi mungkin penglihatan orang luar berbeda,” jelasnya melalui Instagram.
Pernyataan ini disampaikan menyusul beredarnya isu di media sosial yang menyebut adanya tekanan terhadap Saif untuk menarik video dan meminta maaf.
Video parodi itu menuai berbagai tanggapan dari publik, mulai dari apresiasi atas kreativitas hingga kritik karena dianggap melecehkan tokoh daerah.
Komentar dari Ketua PWI Kalteng menyatakan pentingnya konten kreatif yang tetap memperhatikan etika publik dan menghargai simbol-simbol pemerintahan.
“Kreativitas harus dihargai, tapi tetap harus ada batas yang dijaga,” ujar Ketua PWI Kalteng dalam keterangannya di Palangka Raya, Senin (21/4).
Dampak dari polemik ini menimbulkan diskusi publik mengenai batas kebebasan berekspresi dan sensitivitas terhadap tokoh publik di Kalimantan Tengah.
Pakar media sosial dari Universitas Palangka Raya (UNPAR) menilai kasus ini mencerminkan perlunya edukasi digital yang lebih kuat di tengah meningkatnya budaya konten.
“Perlu ada literasi digital agar publik memahami ruang antara kritik dan penghinaan,” kata Dr. Yulia Pratiwi saat dihubungi via daring, Senin (21/4).
Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng juga turut memanggil Saif untuk meminta klarifikasi dan mengedepankan pendekatan damai dalam menyikapi masalah.
“Kami ingin menjaga kehormatan adat sekaligus menghargai proses kreatif anak muda,” ujar Ketua DAD Kalteng usai pertemuan di kantor DAD, Palangka Raya.
Data dari Instagram menunjukkan bahwa video parodi tersebut sempat ditonton lebih dari 70 ribu kali dalam waktu 24 jam sebelum dihapus.
Polemik ini menjadi relevan karena bersinggungan langsung dengan kebijakan pemerintah daerah yang tengah mengedepankan toleransi dan keterbukaan kritik.
Beberapa peserta dari kalangan komunitas kreator menyampaikan bahwa kasus ini bisa menjadi refleksi bersama antara pembuat konten dan pemangku kebijakan.
“Sebagai kreator, kami ingin ruang berekspresi tetap dijaga, tapi juga memahami konteks lokal,” ucap Taufik, anggota komunitas kreator muda Palangka Raya.
Isu ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan penghormatan terhadap pejabat publik sebagai representasi negara.
Informasi tambahan dari aktivis media menyebutkan bahwa kasus serupa pernah terjadi di beberapa daerah, namun tidak semua berakhir dengan permintaan maaf publik.
Dampak jangka panjang dari insiden ini bisa memengaruhi cara masyarakat Kalimantan Tengah menilai konten satir di ruang digital.
Saif menyampaikan bahwa ia akan lebih berhati-hati dalam membuat konten dan terbuka terhadap masukan dari berbagai pihak.
“Mungkin akan kukatakan paksaan kalau aku menolak, tapi nyatanya aku kooperatif dari awal,” pungkasnya di Palangka Raya, Senin (21/4/2025).
Saif juga menyampaikan harapannya agar masyarakat dapat menilai konten dengan lebih arif dan tidak terburu-buru dalam menyimpulkan niat seseorang.
Kejadian ini mengundang perhatian nasional karena menyentuh isu sensitif seperti kritik terhadap pejabat dan ekspresi budaya lokal melalui media digital.
Secara sosial, peristiwa ini menunjukkan pentingnya dialog terbuka antara generasi muda kreatif dan lembaga pemerintahan di era digital saat ini.
Tanggapan masyarakat di media sosial pun beragam, dengan sebagian besar mendukung kebebasan berekspresi namun tetap menyarankan etika komunikasi publik.
Polemik ini ditutup dengan harapan bahwa ke depan, perbedaan pandangan dapat diselesaikan secara damai dan edukatif untuk semua pihak. (red)