HukumNasional

Mahfud MD Nilai Vonis Tom Lembong Salah, Tak Ada Unsur Kesengajaan

Akhmad Madani
×

Mahfud MD Nilai Vonis Tom Lembong Salah, Tak Ada Unsur Kesengajaan

Sebarkan artikel ini
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD saat menemui wartawan di Balairung, Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (4/02/2025).(KOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA)
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD saat menemui wartawan di Balairung, Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (4/02/2025).(KOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA)

JAKARTA (MediaSurya) – Mantan Menko Polhukam Mahfud MD menilai vonis 4,5 tahun penjara terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong dalam kasus impor gula merupakan keputusan yang tidak tepat.

“Setelah saya mengikuti isi persidangan dan mendengar vonisnya, maka menurut saya vonis itu salah,” ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (22/7).

Mahfud menyebut bahwa awalnya ia melihat penetapan Tom sebagai tersangka sudah sesuai aturan karena ada dugaan memperkaya diri sendiri dan merugikan negara.

“Namun setelah saya cermati, ternyata kebijakan itu merupakan perintah dari atas dan bersifat administratif,” katanya.

Ia menyebut dalam perkara itu tidak ditemukan unsur mens rea yang menjadi dasar pemidanaan seseorang dalam tindak pidana korupsi.

“Dalilnya ‘geen straf zonder schuld’, artinya tidak ada pemidanaan jika tidak ada kesalahan,” katanya.

Ia menilai Tom Lembong hanya menjalankan tugas yang berasal dari hulu dan diteruskan ke hilir tanpa adanya niat jahat.

“Menurut saya, tidak ada unsur mens rea sehingga tidak bisa dipidanakan,” tambahnya.

Mahfud juga menyebut vonis terhadap Tom memiliki kelemahan karena tidak menunjukkan secara logis adanya actus reus atau perbuatan pidana yang jelas.

Ia menilai kerugian negara yang ditetapkan oleh hakim juga tidak berdasarkan audit resmi BPKP melainkan dihitung sendiri oleh hakim.

“Hitungan kerugian negaranya dilakukan sendiri oleh hakim, tidak merujuk pada lembaga audit resmi,” ujarnya.

Ia menyebut hakim bahkan menyampaikan hal yang tidak relevan dalam pertimbangan vonis seperti menyebut kebijakan Tom sebagai kapitalistik.

“Hakim juga bercanda lucu bahwa salah satu yang memberatkan Tom Lembong adalah membuat kebijakan yang kapitalistik,” katanya.

Mahfud menilai hakim tampaknya tidak memahami perbedaan antara ideologi dan norma hukum dalam menyusun pertimbangan hukum.

Ia pun mendorong Tom Lembong untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi guna mengoreksi vonis tersebut.

Diberitakan, Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsidair 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dalam kasus korupsi impor gula.

Menurut hakim, tindakan Tom telah merugikan keuangan negara sebesar Rp194,7 miliar karena PT PPI membeli gula dari swasta dengan harga lebih tinggi dari HPP.

“Harga pokok penjualan saat itu Rp8.900 per kilogram, namun PT PPI membeli seharga Rp9.000 per kilogram,” ujar Hakim Alfis Setiawan, Jumat (18/7/2025), dilansir dari Kompas.com.

Hakim menyebut bahwa akibat pembelian tersebut, PT PPI kehilangan keuntungan yang seharusnya masuk ke kas negara.

“Terdakwa telah mengakibatkan kerugian keuangan negara in casu PT PPI Persero sebesar Rp194,7 miliar,” katanya.

Selain itu, hakim menilai kebijakan Tom lebih condong pada ekonomi kapitalistik dibanding sistem ekonomi Pancasila.

“Kebijakan terdakwa lebih mengedepankan ekonomi kapitalis dibanding sistem demokrasi ekonomi dan Pancasila,” tambahnya.

Hakim juga menilai Tom Lembong tidak menerapkan asas kepastian hukum dan mengabaikan prinsip keadilan dalam pengendalian harga gula.

“Dia tidak melaksanakan tugas secara akuntabel dan adil terhadap masyarakat sebagai konsumen gula,” ujarnya.

Hakim menyebut bahwa masyarakat sebagai konsumen akhir telah diabaikan dalam akses memperoleh gula dengan harga terjangkau.

“Terdakwa telah mengabaikan masyarakat sebagai konsumen akhir gula kristal putih untuk mendapatkan harga yang terjangkau,” katanya. (am)