Opini

Menafsir G30S/PKI dalam Perspektif Demokrasi Substantif

Akhmad Madani
×

Menafsir G30S/PKI dalam Perspektif Demokrasi Substantif

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi pohon demokrasi yang tumbuh dari dasar hukum dan pengetahuan, dikelilingi tangan rakyat yang meraih keadilan — simbol perjuangan kolektif melawan ketimpangan sosial dan dominasi elit (foto: Gemini AI)

Pengantar

Peringatan G30S/PKI sering kali hanya berhenti pada narasi tragedi masa lalu, digambarkan sebagai ancaman mutlak dari ideologi kiri yang harus dihapuskan. Namun, jika ditelaah lebih dalam, sejarah seharusnya bukan sekadar alat legitimasi untuk menakut-nakuti atau membungkam pemikiran tertentu, melainkan panggilan untuk refleksi.

Peristiwa itu mengingatkan kita bahwa demokrasi bukan hanya tentang ritual pemilu atau simbol-simbol kebebasan, tetapi juga tentang bagaimana suara masyarakat—terutama mereka yang lemah secara ekonomi—benar-benar dihargai dan diperhatikan.

Di tengah realitas kontemporer, ketimpangan sosial dan penindasan kelas pekerja masih berlangsung, meski dalam bentuk yang lebih halus seperti penggusuran, eksploitasi buruh, dan dominasi pasar oleh segelintir elit. Hal ini menuntut refleksi kritis: apakah demokrasi yang kita rayakan hari ini sungguh mampu menyeimbangkan keadilan sosial dan kebebasan ideologi, atau justru menjadi alat untuk mempertahankan status quo ekonomi dan politik yang timpang?

Kurangnya Representasi Ideologi Kiri

Dalam lanskap politik Indonesia masa kini, terlihat jelas dominasi ideologi neoliberal yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan kepentingan pasar sebagai prioritas utama, sementara agenda keadilan sosial kerap tersingkir.

David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism mencatat bahwa neoliberalisme secara sistematis menempatkan akumulasi kapital di atas kesejahteraan masyarakat, menghasilkan ketimpangan yang melebar dan meminggirkan kelompok pekerja serta rakyat miskin.

Di Indonesia, praktik ini tampak melalui berbagai kebijakan ekonomi seperti deregulasi pertambangan dan perkebunan yang menguntungkan investor besar, tetapi sering mengorbankan hak-hak masyarakat lokal, termasuk tanah adat dan akses terhadap sumber daya alam.

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa tokoh-tokoh atau kelompok yang menekankan keadilan sosial atau alternatif ekonomi nonkapitalis kerap dibungkam melalui stigma ideologi. Pelarangan partai-partai kiri pasca peristiwa G30S/PKI serta kriminalisasi aktivis buruh dan mahasiswa yang menuntut redistribusi sumber daya memperlihatkan bagaimana ideologi kiri distereotipkan sebagai ancaman.

Antonio Gramsci, melalui teori hegemoninya, menegaskan bahwa kekuasaan tidak hanya dijalankan melalui kontrol negara, tetapi juga melalui dominasi wacana dan nilai budaya—di mana masyarakat diajarkan untuk menormalisasi ketimpangan dan menganggap kritik terhadap kapitalisme sebagai sesuatu yang radikal atau berbahaya.

Fenomena ini diperkuat oleh Howard Zinn dalam A People’s History of the United States, yang menyoroti bagaimana narasi sejarah resmi sering mengabaikan perlawanan rakyat dan perjuangan kelas demi melanggengkan kepentingan elit.

Akibatnya, di Indonesia, representasi ideologi kiri minim dalam parlemen, media arus utama, maupun kurikulum pendidikan, sehingga wacana keadilan sosial tetap terpinggirkan.

Jika demokrasi diklaim berjalan di negeri ini, mengapa ruang bagi pemikiran yang menekankan kesejahteraan kolektif dan redistribusi sumber daya masih terbatas? Bukankah demokrasi sejati seharusnya mampu menampung perbedaan ideologis dan menyeimbangkan kepentingan elit dengan kebutuhan rakyat banyak?

Demokrasi yang Tidak Sepenuhnya Inklusif

Demokrasi di Indonesia memang berjalan melalui mekanisme formal seperti pemilu dan parlemen, namun sering kali hanya menjadi simbol legitimasi politik tanpa menjamin keadilan sosial yang nyata.

Teori demokrasi deliberatif Jürgen Habermas menekankan bahwa demokrasi sejati tidak hanya menuntut partisipasi formal, tetapi juga komunikasi yang inklusif—di mana suara kelompok terpinggirkan didengar dan dipertimbangkan.

Namun kenyataan berkata lain. Buruh menghadapi upah stagnan sementara harga kebutuhan meningkat, petani kehilangan tanah akibat proyek pembangunan, dan masyarakat miskin kota digusur demi kepentingan komersial. Semua ini terjadi meski mereka memiliki hak pilih secara formal.

Kasus penggusuran di Jakarta dan Surabaya atau konflik lahan di Karawang dan Lampung menunjukkan bahwa demokrasi formal tanpa perlindungan hak ekonomi dan sosial tetap tidak adil.

Amartya Sen dalam Development as Freedom menegaskan bahwa kebebasan politik hanya bermakna jika diiringi kebebasan ekonomi dan sosial. Tanpa itu, demokrasi menjadi hampa dan ketidaksetaraan terus direproduksi.

Maka, hak pilih semata tidak cukup. Demokrasi sejati harus menjamin setiap warga—terutama yang termarjinalkan—memiliki akses terhadap sumber daya, perlindungan hukum, dan kesempatan hidup layak.

Ketimpangan dan Penindasan

Ketimpangan sosial di Indonesia bukanlah konsekuensi alami, melainkan hasil dari struktur ekonomi yang menguntungkan segelintir elit sambil menekan mayoritas rakyat.

Fenomena PHK massal di berbagai sektor industri menunjukkan bagaimana perusahaan berfokus pada efisiensi dan laba, sementara pekerja menjadi korban sistem yang menjunjung “kebebasan formal” tanpa menjamin keadilan sosial.

Kasus penggusuran paksa di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya memperlihatkan bagaimana hak atas rumah dan ruang hidup dikalahkan oleh kepentingan kapitalis, meski konstitusi menjamin kesejahteraan rakyat.

Dalam perspektif teori Marxian, ketimpangan ini adalah refleksi dari akumulasi kapital yang menempatkan buruh dalam posisi subordinat.

Karl Marx dalam Das Kapital menjelaskan bahwa kapitalisme menciptakan relasi eksploitasi di mana sebagian kecil pemilik modal menikmati hasil produksi, sementara mayoritas pekerja hanya menerima upah jauh di bawah nilai kerja mereka.

Pandangan ini sejalan dengan Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century, yang menyoroti konsentrasi kekayaan global yang memperkuat dominasi kelompok elit.

Ketimpangan juga terjadi di bidang pendidikan dan layanan publik. Anak-anak dari keluarga miskin sering kesulitan memperoleh pendidikan berkualitas, sementara anak-anak dari keluarga kaya menikmati fasilitas lebih baik. Hal ini memperkuat reproduksi kelas sosial.

Dengan demikian, kebebasan formal—seperti hak suara atau kebebasan berekspresi—tidak selalu beriringan dengan keadilan sosial.

Amartya Sen menegaskan bahwa kebebasan sejati hanya tercapai bila masyarakat memiliki akses setara terhadap sumber daya dasar, pendidikan, dan peluang ekonomi.

Jika dibiarkan, ketimpangan ini bukan hanya mengancam stabilitas sosial, tetapi juga melemahkan esensi demokrasi itu sendiri.

Refleksi

Refleksi atas peristiwa G30S/PKI seharusnya menuntun kita pada pemahaman yang lebih luas tentang demokrasi dan pluralitas ideologi, bukan sekadar sebagai justifikasi untuk menyingkirkan pemikiran kiri.

Sejarah menunjukkan bahwa penindasan ideologis sering muncul bukan karena ancaman nyata, tetapi karena ketakutan elit terhadap perubahan sosial yang menantang ketimpangan ekonomi.

Antonio Gramsci mengingatkan bahwa dominasi ideologi berjalan melalui kontrol budaya dan wacana, yang membuat masyarakat menerima status quo sebagai sesuatu yang “alami”.

Pelabelan kiri sebagai “musuh negara” pasca-1965 menutup ruang publik bagi kritik terhadap ketimpangan sosial dan ekonomi.

Demokrasi yang sehat tidak cukup dengan formalitas pemilu, tetapi harus memberi ruang bagi semua pandangan—termasuk mereka yang menuntut reformasi struktural.

Kasus-kasus seperti penggusuran warga oleh pengembang besar atau eksploitasi buruh migran menunjukkan bahwa kebebasan formal sering kali tidak sejalan dengan keadilan sosial.

Tulisan-tulisan klasik seperti The Road to Serfdom karya Friedrich Hayek maupun kritik Marxian terhadap kapitalisme modern menegaskan bahwa sistem yang mengabaikan keseimbangan sosial akan melahirkan penindasan terselubung.

Refleksi terhadap G30S/PKI seharusnya membuka kesadaran bahwa ideologi kiri, sebagaimana ideologi lain, dapat menjadi alat perjuangan bagi keadilan dan kesejahteraan masyarakat luas—bukan ancaman bagi bangsa.

Menutup ruang ideologis sama artinya dengan menutup kemungkinan demokrasi untuk menegakkan keadilan substantif.

Demokrasi sejati adalah demokrasi yang menampung kritik, menyeimbangkan kepentingan, dan memberi perlindungan bagi semua kelompok, termasuk mereka yang mempertanyakan dominasi ekonomi dan sosial.

Sejarah, dengan demikian, bukan sekadar pelajaran masa lalu, melainkan lensa untuk menilai sejauh mana sistem kita kini mampu menyeimbangkan kebebasan politik dengan keadilan sosial.

Daftar Pustaka

  • Cohen, Robert, and Sonia E. Murrow. Rethinking America’s Past: Howard Zinn’s A People’s History of the United States in the Classroom and Beyond. University of Georgia Press, 2021.
  • Fontana, Benedetto. “Hegemony and Power in Gramsci.” In Hegemony. Routledge, 2008.
  • Harvey, David. A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press, 2007.
  • Miletzki, Janna, and Nick Broten. An Analysis of Amartya Sen’s Development as Freedom. Macat Library, 2017.
  • Piketty, Thomas. Capital in the Twenty-First Century. Harvard University Press, 2014.
  • Sen, Amartya. “Development as Freedom (1999).” The Globalization and Development Reader: Perspectives on Development and Global Change 525 (2014).
  • Tsoulfidis, Lefteris. “Karl Marx’s Das Kapital.” In Competing Schools of Economic Thought: Retrospect and Prospect. Springer, 2024.
  • Vitale, Denise. “Between Deliberative and Participatory Democracy: A Contribution on Habermas.” Philosophy & Social Criticism 32, no. 6 (2006): 739–766.

Profil Penulis

Ruben Cornelius Siagian adalah pengamat dan analis penelitian independen berbasis di Medan, Sumatera Utara, dengan peminatan pada fisika komputasi dan teoritis. Ruben aktif menulis opini serta analisis kritis tentang politik, sosial, dan akademik Indonesia di berbagai media nasional sepanjang 2025.

Ia mendirikan Riset Center Cendekiawan dan Peneliti Muda Indonesia, wadah kolaborasi bagi mahasiswa, dosen muda, dan guru.

Dalam ranah penelitian, Ruben memiliki publikasi luas di bidang fisika komputasi, astronomi, nuklir, geologi, matematika, dan analisis sosial serta kebijakan internasional, termasuk kajian radiasi, energi nuklir, dan dinamika politik global.

Selain itu, ia aktif dalam organisasi mahasiswa dan advokasi, menjabat berbagai posisi kepemimpinan di GMKI, Senat Mahasiswa FMIPA UNIMED, dan Lembaga Advokasi Pemilu GAMKI Sumatera Utara, menggabungkan kepemimpinan, riset, dan analisis kritis sebagai bagian dari kiprah multidisiplin yang ia kembangkan.