HukumNasional

Muhammadiyah Desak Pemprov Jabar Minta Maaf atas Serangan Digital terhadap Neni Nur Hayati

Akhmad Madani
×

Muhammadiyah Desak Pemprov Jabar Minta Maaf atas Serangan Digital terhadap Neni Nur Hayati

Sebarkan artikel ini
Aktivis Demokrasi sekaligus Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati telah melayangkan somasi kepada Pemprov Jabar. (foto: SindoNews/Agus Warsudi)

BANDUNG (MediaSurya) – Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH-AP) Muhammadiyah mendesak Pemprov Jawa Barat bertanggung jawab atas serangan digital terhadap Neni Nur Hayati, aktivis perempuan dan pembela HAM.

Serangan itu berupa peretasan, doxing, ancaman kekerasan, dan disinformasi yang dinilai sebagai bentuk kekerasan berbasis gender online.

“Serangan digital terhadap Neni Nur Hayati bukan hanya serangan terhadap individu, tetapi juga merupakan kekerasan berbasis gender online (KBGO) terhadap perempuan pembela HAM,” ujarnya dalam siaran pers, dilansir dari SindoNews, Sabtu (2/8).

LBH-AP Muhammadiyah menyebut serangan bermula dari unggahan klarifikasi Gubernur Jabar Dedi Mulyadi pada akun Instagram Diskominfo Jabar yang menampilkan wajah Neni tanpa izin.

Pihaknya menilai unggahan itu melanggar hak atas privasi dan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi.

“Pemprov Jabar tidak dapat lepas tangan karena serangan digital terjadi usai video klarifikasi itu tayang,” katanya.

Akibat unggahan itu, Neni menjadi target serangan digital masif selama dua hari berturut-turut.

LBH-AP Muhammadiyah telah melayangkan somasi ke Pemprov Jabar pada 21 Juli 2025 yang meminta video diturunkan dan permintaan maaf terbuka.

Diskominfo Jabar merespons somasi dengan menurunkan video, namun tidak memberikan permintaan maaf atau tindakan lanjutan.

“Pemerintah daerah wajib melindungi hak asasi warganya, termasuk dari kekerasan digital,” tambahnya.

Kuasa hukum Neni, Ikhwan Fahrozi, mengatakan somasi dilakukan karena foto Neni digunakan tanpa izin dalam video klarifikasi soal dugaan pemotongan anggaran untuk membayar buzzer.

“Pemasangan wajah klien kami tanpa izin adalah pelanggaran hukum dan picu doxing,” ujarnya di Gedung Sate, dilansir dari SindoNews, Senin (21/7).

Neni mengatakan doxing menyebabkan akun TikTok dan WhatsApp miliknya tak dapat diakses.

“Ancaman ini bukan sekadar ujaran kebencian, tapi sudah menyentuh penyiksaan dan ancaman nyawa,” katanya.

Tim kuasa hukum memberi tenggat 2×24 jam untuk menurunkan video dan 5 hari untuk permintaan maaf.

Jika tidak dipenuhi, mereka siap menempuh jalur hukum pidana dan perdata sesuai UU Pelindungan Data Pribadi.

Langkah ini ditempuh demi melawan represi terhadap kebebasan berekspresi dan menjamin hak warga negara. (am)