Profil Ahmad Yani: Pahlawan Revolusi yang Gugur di Lubang Buaya, Jakarta Timur

mediasurya

Mediasurya, Jakarta Timur – Jenderal Ahmad Yani merupakan salah satu pahlawan revolusi yang lahir di Purworejo, Jawa Tengah, pada 19 Juni 1922. Ia merupakan putra dari pasangan Sardjo bin Suhardjo dan Murtini. Ahmad Yani menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) atas bantuan seorang administrateur kolonial setempat, Jans Hulstijn. Setelah menyelesaikan pendidikannya di HIS, Ahmad Yani melanjutkan ke Meer Uitgebreid Onderwijs (MULO) di Bogor dan kemudian ke Algemene Middelbare School (AMS) di Jakarta.

Ketertarikannya dengan dunia militer mulai muncul ketika ia mendaftar ke Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) pada 1940, yang merupakan pelatihan untuk tentara cadangan. Setelah Jepang menduduki Indonesia, Ahmad Yani sempat dipenjara namun kemudian dibebaskan karena dianggap sebagai tentara pribumi.

Ahmad Yani kemudian bergabung dengan Heiho, pasukan militer bentukan Jepang, dan menjabat sebagai Komandan Seksi I Batalyon II pada tahun 1944. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Ahmad Yani berperan aktif dalam menyita senjata Jepang di Magelang dan diangkat sebagai Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Purwokerto.

Pada masa Agresi Militer I, pasukan yang dipimpin oleh Ahmad Yani berhasil mempertahankan serangan Belanda di Pingit dan mengusir pasukan Inggris dari Semarang dalam pertempuran Palagan Ambarawa. Selain kemampuan militer, Ahmad Yani juga dikenal sebagai seorang diplomat, di mana ia terlibat dalam Perundingan Linggarjati.

Setelah penyerahan kedaulatan pada 1949, Ahmad Yani terus aktif dalam dunia militer, termasuk dalam operasi pemberantasan DI/TII di Jawa Tengah. Keberhasilan ini membuat reputasi Ahmad Yani semakin terkenal, terutama setelah memimpin operasi pemberantasan PRRI di Sumatra Barat pada 1958, yang dikenal sebagai Operasi 17 Agustus.

Pada tahun 1961, Ahmad Yani dilantik menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) menggantikan Jenderal AH Nasution. Isu tentang Dewan Jenderal yang bekerja sama dengan CIA untuk melawan Presiden Sukarno sempat mencuat, namun Ahmad Yani menegaskan kesetiaannya kepada Presiden Sukarno.

Pada tanggal 1 Oktober 1965, segerombolan pasukan berseragam Cakrabirawa masuk ke rumah Ahmad Yani dan menembaknya di depan anak-anaknya. Jenazah Ahmad Yani kemudian dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur, oleh kelompok yang menamakan diri “Gerakan 30 September.” Gerakan ini diduga dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada 4 Oktober 1965, jasad Ahmad Yani bersama enam perwira lainnya ditemukan di Lubang Buaya dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1965 dalam upacara militer.